Jemu sudah berbicara Pancasila hanya sebatas tafsiran manis nilai-nilainya oleh para politisi. Terlampau memuakkan Pancasila hanya diulang-ulang mengendap dalam otak menjadikannya doktrin yang tak bisa dibantah.
Cara-cara berekonomi dan berpolitik ala Pancasila katanya harus humanis sekaligus berkeadilan. Bak jauh api dari panggang, jujur saja, jalan berpolitik dan berekonomi kita jauh dari itu. Di mana nilai Pancasila saat rakyat Indonesia terjerat dengan judi online dan pinjaman online. Tak ada nilai humanis di situ.
Boleh jadi rakyat juga yang salah, tak memahami Pancasila dengan benar, boleh jadi juga pemerintah yang salah karena meloloskan judol dan pinjol yang bikin rakyat tercekik sampai mati.
Akui saja, nilai Pancasila tak masuk dalam praktik-praktik ekonomi kita. Berpolitik pun seperti itu. Para politisi kita lebih senang mengumbar wajah besarnya dalam banner, namun kerdil secara pemikiran.
Mengemis-ngemis suara rakyat, lalu jadi pejabat yang mengembat duit pajak. Tak ada rasa malu di situ, tak ada nilai Pancasila dalam politik itu.
Sudah lama para pendiri bangsa menginginkan Pancasila hadir dalam segi apapun. Namun kita lupa, kita sendiri yang mengusirnya.
Tanpa rasa malu korupsi besar mengajak sanak family untuk berfoya. Tanpa ada rasa malu mengajak anak family ke istana dengan duit negara. Buang jauh kata dinasti politik, buang jauh kata ekonomi kerakyatan. Kita lebih suka bancakan anggaran, masuk kantong pribadi selesai rapat singkat.
Akhirnya kita jauh dari cara-cara berekonomi dan berpolitik santun. Toh Pancasila tak bikin kita kenyang, tak bikin kita duduk di kursi kekuasaan.
Penulis: Nengsih (Mahasiswa Fakultas Hukum – Universitas Pamulang PSDKU Serang).