Pasca Proklamasi kemerdekaan Bangsa Indonesia, Sabtu keramat
sidang pertama PPKI tertanggal 18 Agustus 1945 menetapkan bahwa UUD 1945 menjadi konstitusi dasar Indonesia. Artinya, UUD 1945 menjadi sebagai dasar hukum bagi pemerintahan Indonesia serta memuat prinsip-prinsip dasar yang harus ditaati.
Pada tanggal itu juga Pancasila disahkan. Bahkan disetujui dan Pancasila dicantumkan dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar negara Indonesia yang sah. Sejak saat itu bangsa ini menjadi bangsa yang Pancasilais. Bangsa yang berbangga diri tak membeo membebek mengikuti trend ideologi kiri atau kanan.
Tak hanya bangsa, negara Indonesia juga berjiwa Pancasila, maksudnya tindak tanduknya tak boleh keluar dari koridor lima sila buah pikiran founding parents. Pancasila berisi hal-hal yang baik, sifat yang mewarisi leluhur Nusantara.
Konon sejak saat itu bangsa dan negara kita berangan-angan ingin mewujudkan sesuai yang ada dalam lima sila. Bangsa kita berketuhanan, namun para penganut kepercayaan belum diakui dalam KTP. Masih banyak konflik yang mengatasnamakan ketuhanan.
Katanya juga bangsa kita bangsa beradab, namun korupsi besar-besaran tak mengenal adab semakin marak. Budaya kita budaya malu, malu akan berbuat baik, menunduk pada yang tinggi, bahkan sampai menjilatnya, berharap naik jabatan menindas bawahan.
Persatuan dijunjung tinggi, dibalik itu, kita juga memelihara perpecahan dalam sekam. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, dalam arti orang-orang berilmu hanya bualan semata. Orang-orang berilmu lebih sibuk berkutat pada buku dan berbicara untuk dirinya sendiri. Jangan berharap keadilan sosial, toh para penegak hukum yang berjiwa keadilan itu lebih sering menjual keadilan, yang penting uang, keadilan tak bisa buat makan.
Saya hanya melihat para pengamal Pancasila memandangnya sebagai berhala, dipuja-puji berharap jadi mesias juru selamat dari kehancuran. Pancasila hanya besar saat peringatannya saja, ditempel di Baner para politisi, seminar mahasiswa, bukti bahwa kita cinta Pancasila.
Terlepas dari itu, saya hanya resah. Pancasila yang dibilang sebagai warisan luhur tak lebih hanya manis di mulut. Angan-angan, bahkan mimpi siang bolong berharap keadilan dan kemakmuran sosial bisa terwujud. Sekali lagi, kita hanya berangan-angan menjadi negara Pancasila jika masih memelihara sifat yang bersebrangan dengannya.
Penulis: Rokhiman (Mahasiswa Fakultas Hukum – Universitas Pamulang PSDKU Serang).