Bangsa Indonesia terdiri dari suku-suku yang majemuk dengan tingkat keberagaman yang tinggi. Para Parents Father jauh-jauh mewariskan suatu ide, gagasan, bahkan disebut menjadi dasar yang juga berfungsi sebagai perekat antar suku-suku yang heterogen. Perekat yang dimaksud yakni Pancasila. Lima butir ajian sakti itu digadang-gadang mampu dan ampuh menjadi penawar segala penyakit bangsa.
Bak obat mujarab berbentuk asas ataupun disebut ideologi oleh Destutt de Tracy, Pancasila jadi anti tesis kolonialisme yang menghina kemanusiaan di belahan dunia manapun kala itu. Kini Pancasila perlu dipertanyakan kembali, apakah obat yang membuat ilusi utopis angan-angan surga atau obat penyembuh penyakit bangsa dan negara Indonesia itu ampuh. Alih-alih menjadi obat yang menjadi penawar kala sakit, sekarang Pancasila malah dijadikan penyakit oleh “oknum” bangsa Indonesia itu sendiri.
Tengok era Orde Lama, Sukarno berdansa ria di tengah krisis dan demontrasi mahasiswa saat krisis ekonomi dan politik tahun 1960-an. Sukarno mencap anti revolusioner pada para pengkritiknya, tentu dibalik anti revolusioner terdapat Pancasila di dalamnya. Tak jauh berbeda pada masa Orde Baru, Pancasila jadi doktrin, hegemoni dan tafsir kebenaran tunggal sekaligus cap “pengkhianat” oleh Suharto kepada para lawan politiknya. Pancasila jadi tameng sekaligus pedang untuk menggebuk oposisi pada era keduanya. Makna Pancasila dikerdilkan tafsir tunggal penguasa dan besar jadi berhala anti kritik, anti diskusi terbuka.
Era Reformasi tak jauh berbeda dari masa pendahulunya. Era ini ditandai dengan gaungnya Pancasila hanya ada pada diktat kuliah dan cuap-cuap dosen syarat lulus mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Pancasila juga jadi parade perayaan simbol semata dengan peringatan hari lahirnya tiap 1 Juni. Tak ada yang salah dengan itu, hanya saja kita kehilangan esensi, ruh dan makna mendalam dari Pancasila.
Imbasnya kasus intoleransi masih marak terjadi. Sepanjang tahun 2007-2022, SETARA Institute mencatat 573 gangguan terhadap peribadatan dan tempat ibadah berupa pembubaran, penolakan, intimidasi, perusakan, pembakaran dan lain sebagainya. Perlu kita bertanya kembali, dimana Pancasila sebagai perekat bangsa? apa karena kita sering terjebak seremonial peringatan Pancasila semata? apa karena obat mujarab Pancasila tak manjur lagi bagi bangsa Indonesia?
Lebih gila lagi, Pancasila pernah dijadikan alat pemecah belah oleh penguasa era ini. Rakyat terbelah menjadi dua yang meruncing menjadi penjilat dan penentang penguasa imbas perhelatan akbar pemilu 2019 silam.
Di titik ini patut kita renungi dan kembali berkaca pada sejarah. Apa yang dicita-citakan para Parents Father Bangsa Indonesia lewat Pancasila yang mendambakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat negara yang beradab sudah tepat? atau Pancasila hanya ilusi bagi Negara Indonesia? atau memang kita terlanjur amnesia pada sejarah lima sila sakti warisan leluhur dan mengkerdilkannya lewat pajangan burung Garuda tanpa mampu berbuat apa-apa. Entahlah.
Penulis: Ratu Ditta Purwitasari (Mahasiswa Fakultas Ilmu Hukum Unpam PKSDU Serang)