Pancasila pernah ditawarkan oleh Sukarno sebagai pemersatu bangsa-bangsa dunia. Bukan tanpa sebab Presiden pertama itu pede dan berani menawarkan lima sila produk bangsa beradab ini kepada dunia yang sedang berkecamuk trauma perang.
Alasannya tentu saja karena sifat Universalitas Pancasila. Artinya Pancasila bernilai umum, sila-silanya ada pada bangsa-bangsa di belahan dunia manapun.
Pancasila juga jadi dasar bangsa dan negara Indonesia merdeka. Sebab penjajahan bertentangan dan melecehkan kemanusiaan. Kemanusiaan ada pada sila kedua Pancasila. Singkatnya, Pancasila mengandung nilai-nilai humanis versi bangsa Indonesia.
Benarkah demikian? Bukankah Pancasila juga mengekerdilkan otak bangsa Indonesia. Dimana letak beradabnya bangsa ini saat mayat-mayat sesama anak bangsa berbaju militer terkubur menumpuk korban kesaktian Pancasila.
Bukan kerdil, bahkan biadab dan tak humanis, memelihara dendam kesumat yang mengakibatkan pembunuhan masal orang-orang palu arit di Bali.
Bukan hendak mempertentangkan siapa yang dahulu mengacungkan bedil diantara anak bangsa. Buka hendak menuntut permohonan maaf dari pihak tertentu, tapi alangkah naifnya bangsa ini mengagungkan-agungkan Pancasila sampai ke surga tanpa mengetahui ada jejak berdarah mempertahankannya.
Pancasila juga tak ada bagi rakyat Papua. Sebagian menganggap bahwa Indonesia menjajah pulau di timur itu. Lihat saja tak berdayanya Pancasila dihadapan korporasi yang membabat habis hutan adat mereka.
Bangsa kita beragam, konon katanya dipersatukan Pancasila, tapi sekali lagi, dihadapan buldoser dan sawit, Garuda hanya burung tak berdaya.
Seakan mempunyai dua wajah, Pancasila jadi humanis dan biadab sekaligus. Humanis saat sosialisasi Pancasila oleh politisi kepada mahasiswa polos yang tak tahu apa-apa.
Pancasila tak berdaya menghalangi politisi saat transaksi lancung yang berujung tahanan rompi Oren KPK.
Semoga anak bangsa sadar, tak lagi kerasukan Pancasila, NKRI dan segala doktrin menjemukan itu. Semoga sadar bahwa Pancasila itu pedoman berbangsa dan bernegara.
Bukan bedil berpeluru ideologi yang berujung pada gulag dan penyumpal kebebasan berpendapat. Semoga.
Penulis: Yuliana Sari (Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Pamulang PSDKU Serang).