Pancasila bukan harga mati. Pancasila juga benda mati. Jadi tak perlu dibela sampai mati. Tapi sayang, lima sila berlambang Garuda itu dijadikan alasan untuk mempersekusi kelompok tertentu. Bahkan lebih buruk, Pancasila jadi dalih untuk membunuh sesama anak bangsa.
Pancasila yang disebut sebagai kesepakatan antara ulama dan umaro untuk melawan penjajah, malah dijadikan gadah untuk memukul kelompok oposisi pemerintah. Dari dulu hingga kini seperti itu, hanya berbeda cap saja.
Zaman Sukarno, putra sang fajar itu mencap lawan politiknya sebagai anti Pancasila, anti revolusioner, anti pemerintah, memberontak dan label lainnya. Seolah-olah membuat alasan sah untuk menghajar penentangnya. Boleh jadi, Sukarno hanya megalomania. Mabuk kekuasaan mengangkangi Pancasila. Sukarno berdansa ria di istana, padahal ekonomi Indonesia dekade 1960-an mulai ambruk akibat krisis politik yang menjalar ke semua sektor.
Demikian dengan Presiden kedua, Suharto. Ia digadang-gadang sebagai arsitek bapak pembangunan jempolan menyelamatkan bangsa. Indikasinya, inflasi 600 persen berhasil ditekan. Berbekal undang-undang PMA, Suharto memperbolehkan bangsa asing untuk menanam kekuasaannya dengan dalih investasi dan demi kestabilan ekonomi.
Lantas dimana Pancasila yang digadang-gadang sebagai juru selamat bangsa saat kedua presiden itu nyaris menghantarkan rakyat pada jurang kehancuran? Pancasila tetap ada, tetap menjelma jadi begal berkedok ideologi yang digunakan buzzer untuk memecah belah masyarakat.
Tak usah teriak Pancasila harga mati, hal itu hanya memekakkan telinga. Toh Pancasila mampu membuat mayat-mayat Perwira terbaik bangsa di lubang buaya. Pancasila mampu membuat luka mendalam pada tahanan di Pulau Buru. Menyisakan trauma hebat pada generasi muda yang mau membaca sejarah.
Saya bukan hendak menentang Pancasila, tapi sebaliknya. Pancasila memang kesepakatan, hanya saja, dasar hukum Indonesia ini harus terbuka terhadap kritik. Toh penghapusan 7 kata sakral itu juga belum pasti kebenarannya.
Jangan jadikan Pancasila hanya pajangan di ruang pemerintahan yang korup. Jangan juga jadikan Pancasila hanya di buku sampul anak SD. Artinya, jangan jadikan doktrin. Terbuka saja, perdebatkan saja. Alangkah memuakkan menjadikan Pancasila sebagai tameng dibalik kegagalan merawat kebhinekaan.
Penulis: Dini (Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Pamulang PSDKU Serang).