SERANG – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang akan dilaksanakan pada 27 November 2024 di seluruh Indonesia harus dijalankan dengan integritas dan kredibilitas tinggi.
Proses demokrasi ini harus menjadi momen bagi masyarakat untuk memilih pemimpin berdasarkan informasi yang akurat dan penilaian rasional. Namun, fenomena politik uang yang sering muncul di masa tenang menjadi ancaman serius bagi integritas demokrasi.
Akademisi FISIP UNIBA, Malik Fatoni memaparakan, masa tenang merupakan periode krusial dalam pemilu, yang seharusnya memberikan ruang bagi pemilih untuk mempertimbangkan pilihannya tanpa gangguan dari kampanye. Sayangnya, periode ini justru rentan terhadap praktik politik uang, yang sering kali dilakukan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab untuk mempengaruhi pemilih. Praktik ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga dapat merusak legitimasi hasil pemilu serta masa depan kepemimpinan.
Menurut Malik, Politik uang di masa tenang sering kali muncul karena lemahnya pengawasan dan kesempatan yang dimanfaatkan oleh para kandidat atau tim sukses yang ingin meraih kemenangan dengan cara instan.
“Fenomena ini dapat merusak kualitas demokrasi, karena pemilihan pemimpin tidak lagi didasarkan pada kualitas dan visi-misi, melainkan pada siapa yang memiliki lebih banyak uang untuk membeli suara,” kata Malik dalam keterangan yang diterima BANPOS, Senin (25/11).
Malik yang juga pengamat politik dari Banten, yang telah lama mengamati proses pilkada, menyatakan bahwa meskipun KPU dan Bawaslu sudah berusaha maksimal dalam menjalankan tugas mereka, tantangan terbesar tetap ada pada pengawasan di tingkat lapangan.
“Upaya pengawasan dan integritas yang dijalankan oleh KPU dan Bawaslu harus dihargai, tetapi para peserta pilkada dan tim sukses juga harus ikut berperan dalam menjaga agar pemilu berjalan adil dan bebas dari praktik politik uang,” tegasnya.
Malik menjelaskan, politik uang adalah praktik pemberian uang atau barang kepada pemilih dengan tujuan mempengaruhi pilihan mereka. Di masa tenang, di mana regulasi kampanye sudah mulai berkurang, praktik ini cenderung meningkat karena masih ada tekanan bagi kandidat untuk meraih suara sebanyak mungkin.
Menurut Malik, praktik politik uang bukan hanya soal pelanggaran hukum, tetapi juga dapat merusak proses pendewasaan politik masyarakat.
“Politik uang menciptakan iklim politik yang tidak sehat, di mana masyarakat tidak lagi memilih berdasarkan ide dan program, tetapi karena keuntungan pribadi yang diterima,” ujarnya.
Malik menekankan beberapa dampak negatif dari praktik politik uang, antara lain Degradasi Nilai Demokrasi, Kepemimpinan yang Tidak Berkualitas dan Korupsi Sistemik.
Malik mengimbau agar semua pihak, termasuk penegak hukum, tokoh masyarakat, organisasi kemasyarakatan, dan rakyat secara umum, berperan aktif dalam mencegah politik uang.
“Pencegahan harus dilakukan sejak dini dengan pengawasan yang ketat. Setiap upaya yang mencoba merusak integritas pemilu harus dilaporkan dan ditindak tegas,” terangnya.
“Semoga Pilkada 2024 dapat menjadi momentum untuk kembali memperkuat demokrasi di Indonesia, dengan memilih pemimpin yang berkualitas dan berintegritas,” tandas Malik.