SERANG – Dibalik posisinya sebagai salah satu perusahaan penjamin kredit daerah terbesar secara nasional, PT Jamkrida Banten tengah menghadapi krisis keuangan yang kian mengkhawatirkan.
Laporan keuangan tahun 2024 yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik Roni Pupung, mengungkap gejala menurunnya fondasi keuangan perusahaan milik Pemerintah Provinsi Banten ini.
Pengamat Ekonomi Banten Bambang D. Suseno, Dosen dan Peneliti pada Program Pascasarjana Universitas Bina Bangsa mengatakan Di tengah kiprahnya sebagai salah satu dari tiga besar secara nasional, perusahaan penjamin kredit daerah milik Pemerintah Provinsi Banten, PT Jamkrida Banten kini tengah menghadapi tekanan finansial yang tidak bisa diabaikan.
Laporan keuangan tahun 2024 yang telah dipublikasikan tanggal 22 Februari 2025 dan audited oleh KAP Roni Pupung, mengungkap penurunan drastis pendapatan imbal jasa penjaminan, dari Rp216,9 miliar menjadi hanya Rp54,4 miliar.
“Lebih dari sekadar angka, penurunan ini mengindikasikan gejala labilnya pilar utama pendapatan Perusahaan,” katanya melalui press release, Selasa (24/6).
Masalah tak berhenti di situ. Beban klaim yang melonjak menjadi Rp 41,1 miliar, naik lebih dari dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya—semakin menekan profitabilitas.
Akibatnya, Jamkrida Banten membukukan kerugian sebelum pajak sebesar Rp 848 juta dan rugi bersih Rp 1,19 miliar. Ironisnya, di tengah kondisi keuangan yang merosot, perusahaan tetap membayarkan dividen sebesar Rp 8,5 miliar. Kebijakan yang menuai tanda tanya besar, mengingat kondisi keuangan perusahaan idealnya tidak memungkinkan untuk pembagian dividen semacam itu.
Investasi Agresif, Aset Kurang Berkualitas
Tekanan likuiditas semakin nyata ketika menilik laporan arus kas. Aktivitas investasi yang menghasilkan arus kas negatif sebesar Rp25,3 miliar menunjukkan bahwa penempatan dana dalam instrumen baru belum memberikan hasil optimal.
Beban pun bertambah akibat arus kas pendanaan yang juga negatif, sebagian besar karena pembayaran dividen tersebut. Ini menjadi sinyal bahaya akan terbatasnya ruang gerak finansial perusahaan di masa depan.
Secara kasat mata, total aset Jamkrida Banten memang naik dari Rp593 miliar menjadi Rp682 miliar. Namun, kenaikan ini lebih banyak disumbang oleh peningkatan aset tidak lancar dan piutang penjaminan ulang yang bersifat kurang likuid. Di sisi lain, ekuitas menurun dari Rp78,9 miliar menjadi Rp77,9 miliar, menandakan akumulasi kerugian yang belum tertutupi.
“Kondisi semacam ini bisa diibaratkan sebagai bangunan megah dengan pondasi rapuh. Neraca perusahaan terlihat kokoh, tetapi rentan terguncang bila tekanan likuiditas atau risiko klaim meningkat secara tiba-tiba,” Ujarnya.
Potensi Krisis Eksistensial
Jika tidak segera dilakukan pembenahan menyeluruh, Jamkrida Banten bisa terjebak dalam spiral penurunan yang lebih dalam. Reputasi sebagai pemain utama di industri penjaminan bisa luntur jika tren kerugian ini berlanjut.
Dampaknya pun sistemik: berkurangnya kepercayaan dari mitra, investor, dan bahkan pemerintah daerah, akan membatasi ruang ekspansi serta meningkatkan potensi intervensi eksternal.
Dalam konteks pengembangan bisnis, situasi ini membawa efek domino yang menghambat berbagai lini yakni (1) reputasi penjaminan kredit yang melemah akan mengikis kepercayaan pasar, (2) goodwill investasi penambahan equty belum nampak, menghambat diversifikasi produk. (3) inovasi layanan tersendat, terutama di sektor penjaminan sektor produktif untuk meningkatkan kapasitas UMKM dan transformasi digitalisasi.
Jamkrida Jabar dan Jakarta Lebih Matang
Ketika PT Jamkrida Banten terpeleset dalam tekanan finansial, dua perusahaan penjamin daerah lain justru menunjukkan ketangguhan yang patut dicermati. Jamkrida Jawa Barat dan Jamkrida Jakarta, yang sama-sama beroperasi dalam lanskap ekonomi dan regulasi nasional yang serupa, tetap mampu mencatatkan kinerja positif pada tahun 2024. Hal ini menandakan bukan sekadar keberuntungan, tetapi hasil dari pengelolaan risiko yang lebih disiplin, strategi portofolio yang terdiversifikasi, serta tata kelola yang adaptif terhadap dinamika pasar.
Dari sisi pendapatan, perbedaan terlihat mencolok. Jamkrida Jabar dan Jakarta secara konsisten mencatatkan pendapatan imbal jasa penjaminan di atas Rp150 miliar, jauh melampaui Rp54,4 miliar milik Jamkrida Banten. Tak hanya lebih besar, pendapatan ini juga lebih stabil dan mampu menopang laba bersih yang positif setiap tahun. Bandingkan dengan Jamkrida Banten yang justru mengalami kerugian bersih sebesar Rp957 juta di tahun yang sama.
Dalam hal aset, Jamkrida Banten masih termasuk dalam tiga besar nasional, dengan total Rp682 miliar. Namun, posisi ini mulai tergerus bila melihat angka Jamkrida Jakarta yang mendekati Rp800 miliar dan Jamkrida Jabar yang telah menembus Rp1 triliun. Aset besar memang impresif secara kasat mata, tetapi akan kehilangan maknanya jika tidak diimbangi oleh kinerja operasional dan profitabilitas yang sehat.
Perbedaan mendasar lainnya terlihat dari kebijakan korporasi terhadap dividen. Di saat Jamkrida Banten tetap membagikan dividen meski mengalami kerugian, Jamkrida Jabar dan Jakarta cenderung menahan distribusi dividen ketika kondisi keuangan sedang tidak ideal. Pendekatan yang lebih konservatif ini mencerminkan kehati-hatian dalam menjaga solvabilitas jangka panjang dan memberi ruang untuk konsolidasi keuangan.
Dari Simbolik ke Substansi
Peringkat nasional berdasarkan aset memang menempatkan Jamkrida Banten di posisi yang terhormat. Namun tanpa dukungan pendapatan yang tumbuh dan laba yang konsisten, peringkat tersebut cenderung menjadi simbolik belaka—sekadar angka dalam laporan tahunan tanpa kekuatan riil dalam pengembangan bisnis. Kinerja riil yang berkelanjutan harus menjadi ukuran utama keberhasilan sebuah lembaga penjaminan.
Keberhasilan Jamkrida Jabar dan Jakarta menjadi cermin penting. Mereka menunjukkan bahwa ketahanan bukan dibangun dari sekadar volume aset, tetapi dari sinergi antara strategi bisnis yang bijak, manajemen risiko yang tajam, serta keberanian mengambil keputusan yang tepat dalam kondisi sulit.
Bagi Jamkrida Banten, momen ini bisa menjadi titik balik. Dengan melihat praktik terbaik dari dua pesaing utamanya, perusahaan ini punya peluang untuk berbenah dan menyusun kembali fondasi keuangan yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Saatnya Direksi Berbenah dan Menunjukkan Kepemimpinan
Di tengah sorotan terhadap kinerja keuangan yang melemah, peran direksi PT Jamkrida Banten kini menjadi sorotan utama. Dalam situasi seperti ini, kepemimpinan bukan lagi soal rutinitas administratif, melainkan tentang keberanian mengambil langkah korektif yang strategis dan menyeluruh. Direksi dihadapkan pada tanggung jawab besar untuk mengarahkan kapal perusahaan keluar dari badai. Di sinilah diperlukan kepekaan dan keberanian untuk meninjau ulang keputusan finansial agar lebih realistis dan sesuai dengan kondisi likuiditas yang sesungguhnya. Jadi bukan saja tindakan korporasi sebagai simbol kepuasan jangka pendek, tetapi harus dipandang sebagai bagian dari kebijakan jangka panjang yang menjamin kesinambungan bisnis.
Selanjutnya, direksi perlu memperkuat manajemen risiko secara menyeluruh, terutama dalam proses seleksi portofolio penjaminan. Beban klaim yang melonjak dalam setahun terakhir menjadi sinyal bahwa sistem underwriting perlu dievaluasi secara serius. Pendekatan yang terlalu longgar atau kurang selektif justru berpotensi memperbesar kerugian di masa depan. Oleh karena itu, kebijakan penjaminan harus dikaji ulang berdasarkan analisis risiko yang lebih tajam dan proyeksi keuangan yang realistis.
Tak kalah penting, transparansi dan komunikasi korporat harus ditingkatkan. Tidak cukup hanya menjawab kritik di balik meja, direksi harus tampil aktif menjelaskan kondisi perusahaan, strategi pemulihan, dan langkah-langkah yang sedang diambil. Komunikasi ini harus mencakup semua pemangku kepentingan—dari pemegang saham, regulator, hingga mitra bisnis dan masyarakat yang menjadi bagian dari ekosistem perusahaan.
Akhirnya, strategi investasi dan ekspansi perlu dievaluasi ulang secara menyeluruh. Pasar pasca-pandemi telah berubah, dan begitu pula risiko yang menyertainya. Keputusan investasi harus bersandar pada analisis pasar terkini dan proyeksi realistis, bukan sekadar keinginan untuk tumbuh cepat. Ekspansi harus dilakukan secara terukur dan memperhatikan dampak jangka panjang terhadap stabilitas keuangan.
Ini bukan saatnya untuk bertahan dengan pendekatan lama. Direksi perlu menunjukkan bahwa mereka mampu bertindak adaptif, responsif, dan visioner. Jika langkah-langkah ini dapat dijalankan dengan komitmen penuh, maka peluang untuk memulihkan kepercayaan dan membangun fondasi bisnis yang berkelanjutan tetap terbuka lebar.
Jalan Menuju Pemulihan atau Penurunan
PT Jamkrida Banten saat ini berada di titik persimpangan. Jalan yang diambil ke depan akan menentukan apakah perusahaan mampu bangkit dan meneguhkan posisinya sebagai lembaga penjamin yang kredibel dan berdaya saing, atau justru terjerumus lebih dalam ke jurang krisis.
Pemulihan tentu tak bisa terjadi seketika. Namun, dengan kepemimpinan yang visioner, kebijakan yang berbasis data, dan komitmen terhadap keberlanjutan, masih ada peluang untuk mengubah arah. Tahun 2025 bisa menjadi awal dari babak pemulihan—atau peringatan terakhir sebelum jatuh lebih dalam.